BAB I
Definisi, ruang lingkup dan sejarah singkat perkembangan
hermeneutika
A.
Definisi dan ruang lingkup
hermeneutika
Secara
etimologis,kata hermeneutika diambil dari bahasa yunani, yakni hermeneuein,
yang berarti menjelaskan.
Sebagai sebuah
istilah, kata tersebut diefinisikan secara beragam dan bertingkat.
·
Hans-Georg Gadamer
sebelum digunakan sebagai disiplin keilmuan istilah
tersebut me-refer (merujuk) pada practice/techne (sebuah aktifitas ) penafsiran
dan pemahaman.
·
Friedrich Schleiermacher
“seni memahami secara benar bahasa orang lain,
khususnya bahasa tulis”
Selain sebagai seni, hermeneutika pada masa modern,
Gadamer mengartikan sebagai art of exegesis (seni menafsirkan),
melainkan lebih dari itu sebagai disiplin yang membahas asek-aspek metodis yang
secara teoritis dapat menjustifikasi aktivitas penafsiran.
·
Franz-Peter Burkard
Seni menafsirkan teks, dan dalam arti yang lebih luas
hermeneutika adalah refleksi teoritis tentang metode-metode dan syarat-syarat
pemahamman.
Meskipun para
ahli memberikan definisi hermeneutika yang agak berbeda-beda, namun mereka
sepakat bahwa hermeneutika
Ø
Dalam arti sempit, hermeneutika
membahas metode-metode yang tepat untuk memahami dan menafsirkan hal-hal yang
perlu ditafsirkan.
Ø
Dalam arti luas, hermeneutika
adalah cabang ilmu pengetahuan yang membahas hakekat, metode, dan syarat serta
persyaratan penafsiran.
B.
Sejarah perkembangan
hermeneutika
1.
Hermeneutika teks mitos
Sebagai embrio,
hermeneutika telah sisinggung dalam filsafat yunani kuno. Obyek penafsiran pada
saat itu teks-teks kanonik (telah dibukukan), baik berupa kitab suci, hukum,
puisi, maupun mitos.
Pembedaan antara
maknah hakiki (literat) dan makna majazi (allegoris) pertama kali dilakukan
oleh Homer dan Mhesiod. Menguak ‘makna terdalam di balik kata-kata’ (hintersinn;
untersinn) adalah suatu tugas hermeneutis yang mereka lakukan.
2.
Hermeneutika teks kitab
suci
Penafsiran
allegoris kemudian dikembangkan terutama oleh para filosof Stoa dan dipraktekan
oleh para teolog masa patristik, seperti Philo von Alexanderien, dia dikenal
dengan “Vater der Allegorese” (Bapak penafsiran allegoris).
Namun, yang perlu
dicatat adalah bahwa kriteria penafsiran pada pertengahan (Mittelalter)
masih terikat dengan tradisi dogmatik kristen.
3.
Hermeneutika umum (allgemeine
hermeneutik)
Pada masa modern
hermeneutika tidak hanya terikat dengan teks-teks kanonik saja, melainkan juga
terkait dengan segalahal yang bisa ditafsirkan. Jadi, hal ini menyangkut
seluruh bidang ilmu sosial. Inilah yang disebut dengan allgemeine (atau,universale)
hermeneutik atau hermeneutica generalis.
BAB II
Ragam dan aliran hermeneutika (umum) modern
Di atas kita
telah mengenal sekilas tentang sejarah hermeneutika dan keberagaman pemikiran
dalam bidang ini. ini membuktikan hakekat dan metode pemahaman/ penafsiran
tidak monoistik (satu warna), melainkan pluralistik (beragam).
Ketika pemikiran
seseorang mendapat perhatian dan resepsi dari pihak lain, maka saat itu ia
menjadi suatu aliran/ mazhab tertentu. Munculnya satu aliran seringkali
merupakan tanggapan kritis atau pengembangan dari aliran yang ada sebelumnya.
Meskipun beragam,
dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran aliran hermeneutika dapat
dibagi ke dalam tiga aliran, yaitu :
1.
Aliran Obyektivis :
Aliran yang
lebih menekankan pada pencarian makna asal dari obyek penafsiran ( teks
tertulis, teks diucapkan, prilaku, simbol-simbol kehidupan, dll.). jadi,
penafsiran adalah upaya merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks.
2.
Aliran Subyektivis :
Aliran yang
lebih menekankan pada peran pembaca/ penafsir dalam pemaknaan terhadap teks.
3.
Aliran antara Obyektivis
dan Subyektivis :
Memberi
keseimbangan pencarian makna asal teks dan peran pembaca dalam penafsiran.
BAB III
Relevansi hermeneutiks dalam pengembangan ilmu tafsir/ulumul
qur’an
A.
Integrasi ilmu dalam
tradisi dan khazanah islam
Integrasi ilmu
islam dengan ilmu “sekular” telah dilakukan dari masa ke masa. Seperti
mu’tazilah mengabungkan teologi islam dengan filsafat yunani. Fakhr al-din
al-razi, seorang mufasir klasik, memasukan temuan-temuan ilmiah pada masanya ke
dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghayb untuk menunjukan kemukjizatan
al-Qur’an dalam bidang sains.
Ini menunjukan
pemikir-pemikir tersebut memandangan pentingnya perpaduan untuk menyempurnakan
disiplin Ilmu keislaman.
B.
Argumentasi visibilitas
hermeneutika untuk diintergrasikan ke dalam ilmu tafsir
Ide-ide
hermeneutik dapat diaplikasikan ke dalam ilmu tafsir, bahkan dapat memperkuat
metode penafsiran Al-Qur’an. asumsi ini berdasarkan agrumentasi sebagai berikut
:
1.
Secara terminologi,
hermeneutika dan ilmu tafsir, keduanya mengajarkan memahami dan menafsirkan
teks secara benar dan cermat.
2.
Salah satu ruang lingkup
dan obyek pembahasan hermeneutika ialah bahasa dan teks, sementara ilmu tafsir
hanya berkaitan dengan teks, obyek inilah yang menyatukanya.
3.
Al-Qur’an dan Bibel
sama-sama pesan ilahi berupa bahasa manusia yang bisa diteliti dengan
Hermeneutika dan Ilmu Tafsir
C.
Kemiripan aliran
hermeneutika umum dan tipologi pemikiran tafsir kontemporer
1.
Pandangan quasi-obyektivis
tradisional
Suatu pandangan
bahwa Al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini.
2.
Pandangan quasi-obyektivis
modernis
Pandangan ini
memiliki kesamaan dengan pandangan quasi-obyektivis tradisional, kewajiban
mengali makna asal dengan ilmu lain seperti informasi sejarah makro dunia arab
saat wahyu diturunkan, teori ilmu
bahasa, sastra modern dan hermeneutika.
3.
Pandangan subyektivis
Setiap penafsiran
sepenuhnya merupakan subyektifitas penafsiran, dan karena itu kebenaran
interpretatif bersifat relatif. Atas
dasar ini setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan Al-Qur’an sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman saat Al-Qur’an ditafsirkan.
D.
Dignikansi hermeneutika
bagi pengembangan ilmu tafsir/ta’wil
1.
Signifikan hermeneutika
Gracia dalam studi dan penafsiran al-Qur’an
a.
Membangun Ulumul Qur’an/Ilmu
Tafsir yang Sophisticated dan filosofis
Ulumul Qur’an
bukan hanya aspek pedagogis dalam bidang penafsiran Al-Qur’an namun juga di
bubuhi penjelasan filosofis, seperti karya al-Ghazali (Qaunun al-Ta’wil)
·
Membuat definisi tafsir
lebih Sophisticated
Tiga aktivitas
penting dalam penafsiran al-Qur’an:
1.
Memahami
2.
Menjelaskan
3.
Mengeluarkan
Pada dasarnya aktivitas
penafsiran perlu dikembangkan lebih Sophisticated
b.
Memperkuat etika dalam
penafsiran
Kita tidak boleh mengklaim paling benar, karena dalam
penafsiran terdapat banyak penghalang untuk sampai pada kebenaran
eksegenetiktunggal.
2.
Elaborasi kesesuaian
hermeneutika Gadamer dengan aspek-aspek ulumul qur’an
a.
Teori kesadaran sejarah dan
teori prapemahan dan kehati-hatian dala menafsirkan teks al-Qur’an
Seorang penafsir
harus berhati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkan sesuai
kehendaknya tetapi semata-mata berasal dari prapemahamman yang telah
terpengaruh oleh sejarah.
b.
Teori fusion of horizon dan
dirasat ma hawla al-nashsh
Dalam penafsiran
terdapat dua horizon yang harus diperhatikan
dan diasimilasikan, yakni horizon teks dan horizon penafsiran.
c.
Teori aplikasi (Anwendung)
dan interpretasi Ma’na-cum-maghza
Setelah penafsir
menemukan makna teks setelah teks tersebut muncul, dia lalu melakukan
pengembangan penafsiran dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’
dengan makna asal sebuah teks.
Buku
ini sangat menginspirasi bagi setiap pembacanya untuk mengembangkan ilmu agama
khususnya ulumul qur’an dengan ilmu pengetahuan lain yang dapat menerima dan
menanggapi suatu keilmuan yang berkembang.
Di
sisilain buku ini harus memberikan gambaran tentang batasan-batasan tertentu
agar pengembangan ulumul qur’an khususnya ilmu tafsir tidak melenceng dari
makna asal.
Buku
ini sangat baik dibaca untuk para pemikir khususnya pemikir islam agar dapat
mengembangkan ilmu agamanya dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain.
di kutidari http://sukauin.blogspot.com/2012/11/hermeneutika.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar