instrumen kal ho na ho

Jumat, 08 November 2013

PENAFSIRAN AYAT TENTANG HIJAB DALAM AL-QUR’AN ( studi perbandingan atas pemikiran Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab)


PENAFSIRAN AYAT TENTANG HIJAB DALAM AL-QUR’AN ( studi perbandingan atas pemikiran Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an yang berada di tengah masayarakat pada saat ini di yakini tidak berbeda [1]dengan al-Qur’an yang di sampai kan Nabi Muhammad SAW15 abad yang silam lalu. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang terakhir yang di bawa oleh ruh al-Amin kedalam hati Nabi Muhammad SAW sebagai pemberi peringatan bagi manusia.[2]
Al-Qur’an merupakan kitab suci sekaligus merupakan kata lisator politik, sosial, spritual, dan penyebab terjadinya perubahan kehidupan kaum kabilah di seminanjung arab.. pengaruhnya kemudian meleber ke kawasan yang lebih luas dengan waktu yang sangat singkat. Ekspansi ideologi yang di motori oleh Al- Qur’an dan berpengaruh di berbagai wilayah di mana ideologi yang di motori oleh Al-Qur’an telah tersebar, menunjukan bahwa Al-Qur’an merupakan kekuatan pengubah dunia yang harus di akuidan di pahami.[3]
Al-Qur’an tidak begitu saja mengubah dunia tampa ada usah untuk memplementasikannya dari manusia sebagai obyeknya. Dibutuhkan upay untuk megali semua ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an. Usaha menggali semua ajaran yang ada di dalam al-Qur’an tersebut di kenal dengan istilah tafsir. Tafsir al-Qur’an secara garis besar ada dua model yaitu tafsir bilma’tsur dan tafsir bil ra’yi.
Tafsir al-Qur’an berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan zaman, hingga muncul berbagai karya tafsir, seperti Rawa’i Al Bayan fi Tasair Ayat Al Ahkam min Al Qur’an yang di tulis oleh Muhammad Ali Ashobuny dan Tafsir al-Mishbah yang dituls oleh Quraish Shihab. Karya ini di tulis agar dapat menjadi penerang dan pemecah permasalahan kehidupan yang di hadapi manusia secara universal.
Seiring dengan perkembangan zaman,  pemahaman terhadap al-Qur’an semakin berkembang di antaranya pemahaman tentang masalah hijab yang mejadi pedebatan yang sangat kuat pada saat ini. Dan membuat kegalauan terhadap masyrakat khusus nya di indo nesia dengan munculnya pemahaman dari salah satu mufasir indonesia yaitu bpk. Prof. Quraish Shihab yang tidak mewajibkan jilbab terhadap wanita muslim. Inilah salah satu alasan mengapa penelitian ini mengambil obyek pemikiran prof. Quraish Shihab.
Alasan mendasar mengapa mengkaji kedua tokoh tersebut adalah karena : yang pertama , Muhammad Ali Ashobuny adalah ulama tafsir yang terkenal dan karyanya banyak menjadi rujukan umat muslim. Dan salah satu karyanya yang menjadi rujukan primer penelitian ini adalah Rawa’i Al Bayan fi Tasair Ayat Al Ahkam min Al Qur’an yang pokus bicara tentang ayat ahkam di antaranya adalah bicara tentang ayat-ayat masalah hijab. Yang kedua, Prof. Quraish Shihab tokoh yang penomenal di indonesia dengan pemikirannya tentang hijab yang berbeda dengan mufasir kebanyakan dan ini lah salah satu alasan yang menarik dari penelitian ini.

B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari Latar Belakang Masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini, yakni:
1.      Bagaimana pemikiran Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab tentang hija   b menurut al-Qur’ān.
2.      Apa persamaan dan perbedaan  pemikiran Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab seputar hijab dalam al-Qur’an.

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan:
1.      Untuk mengetahi pemikiran Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab tentang hijab menurut al-Qur’ān .
2.      Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab seputar hijab dalam al-Qur’an.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap khasanah intelektual Islam di bidang keilmuan tafsir dan hadis. Secara khusus penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi perbandingan antara pemikiran Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab serta kontribusi beliau-sebagai ulama tafsir abad modern-terhadap khasanah keilmuan Islam, khususnya dalam pembahasan seputar hijab muslimah.

D.    Telaah Pustaka

Pembahasan seputar hijab muslimah sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Wacana ini telah banyak diperbincangkan baik oleh ulama klasik maupun ulama kontemporer dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang berbeda. Pembahasan seputar hijab ini sering pula dihadirkan dengan kata jilbab. Dengan demikian hijab maupun jilbab mempunyai makna yang sama meskipun ada beberapa ulama yang membedakan makna kedua istilah tersebut, misalnya al-Albāniy. Bagi al-Albāniy, istilah hijab dan jilbab memiliki keumuman dan kekhususan sendiri-sendiri. Setiap jilbab adalah hijab, namun tidak semua hijab adalah jilbab.[4]
Ibnu Kasīr dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa Hijab adalah kewajiban bagi kaum wanita muslimah sebagai penghormatan baginya dan pembeda dirinya dengan kaum wanita jahiliyah.[5] Pendapat Ibnu Kasīr ini banyak diikuti oleh ulama ahlus sunnah wal jama’ah di antaranya adalah Dr. Sālih bin Fauzān bin Abdullāh al-Fauzān, Syaikh Abdul 'Azīz bin Abdullāh bin Bāz, dan lain sebagainya.
Muhammad Syahrur-seorang tokoh kontroversial-dalam kitabnya "Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āsyirah"  juga membahas masalah hijab dengan menggunakan metode intertekstualitas dan dengan menggunakan pendekatan linguistik sintagmatis.[6] Hasilnya, Syahrur mendapatkan pandangan yang berbeda dengan kebanyakan ulama dalam masalah hijab. Bagi Syahrur, kata al-khumur dalam Surat al-Nūr: 31 tidak bermakna 'tutup kepala' seperti yang lazim diketahui, namun yang di maksud adalah segala macam penutup tubuh baik kepala maupun anggota badan yang lain. Dikaitkan dengan konsep Syahrur tentang al-hadd al-adnā (batasan minimal) dan al-hadd al-a'lā (batas maksimal), yang kemudian dibandingkan dengan hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat, maka dapat disimpulkan bahwa bagian tubuh yang termasuk kategori al-juyūb (lekuk tubuh yang mempunyai celah dan bertingkat; seperti bagian di antara kedua buah dada, di bawah buah dada, di bawah ketiak, kemaluan, dan kedua bidang pantat)adalah al-hadd al-adnā. Adapun bagian tubuh seperti wajah, telapak tangan, dan telapak kaki adalah al-hadd al-a'lā. Konsekuensinya, seorang wanita yang menutup seluruh anggota tubuhnya berarti ia telah melanggar hudūd Allah, begitu juga wanita yang memperlihatkan tubuhnya lebih dari anggota yang termasuk kategori al-juyūb.[7]
dari karya ilmiah atau penelitian yang membicarakan seputar hijab telah dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya Nur Islami dalam skripsinya yang berjudul 'Hijab menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fī Zilāl al-Qur'ān' menguraikan tentang karekteristik hijab menurut Sayyid Quthb sebagai hasil penafsirannya terhadap Surat al-Ahzāb: 32-34, 55, dan 59.[8] adapun Nurul Adha menguraikan tentang praktek berhijab di zaman Rasūlullāh saw dengan melakukan studi atas Surat al-Nūr dan al-Ahzāb dalam skripsinya yang berjudul 'Konsep Hijab dalam al-Qur'ān (Studi terhadap Surat al-Nūr dan al-Ahzāb)'.[9]
Karya ilmiah atau penelitian yang membicrakan seputar hijab di antaranya adalah skripsi karya Rastana yang di dalamnya membahas pemikiran al-Albaniy tentang studi kritik hadis secara umum.[10] Skripsi karya Evi Fitriana yang membahas tentang pandangan gerakan Salafi ahlus sunnah wal jama’ah terhadap hadis-hadis tentang cara berpakaian istri-istri nabi SAW.[11] Dalam skripsi tersebut penyusun menggunakan kitab Jilbab Wanita Muslimah karya al-Albāniy yang telah diterjemahkan sebagai data primernya, namun demikian penyusun tidak membahas pemikiran al-Albāniy secara khusus tentang  jilbab. Skripsi tersebut cenderung menitikberatkan pada praktek gerakan Salafi ahlus sunnah wal jama'ah saat ini dalam berpakaian dikaitkan dengan cara atau praktek berpakaian  istri-istri Nabi saw.kemudian karya ilmiah yang di lakukan oleh Isnaning Wahyuni dengan judul jilbab dan cadar muslimah menurut al-Qur’an dan sunnah perbandingan atas pemikiran al-Albany denegn al-'Usaimīn. Penelitian ini ini menitik beratkan kepada pemikiran al-Albāniy dan al-'Usaimīn seputar jilbab. Kemudian karya ilmiah atau penelitian yang di lakukan oleh Saifullah Al-Ali S.Th.I dalam tesisnya yang bercudul batas aurat wanita dalam tafsir Al-Misbah. tesis ini berbicara fokus kepada batas aurat wanita dalam tafsir Al-Misbah.
Dari sekian banyak karya seputar hijab dan jilbab, sejauh pengetahuan peneliti belum ada karya tulis atau penelitian yang membahas pemikiran pemikiran Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab seputar hijab muslimah secara khusus.   
E.     Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian karena berhasil tidaknya suatu penelitian sangat ditentukan oleh bagaimana peneliti memilih metode yang tepat.[12] Guna mendapatkan hasil penelitian yang sistematis dan ilmiah maka penelitian ini menggunakan seperangkat metode sebagai berikut:
1.      Sumber Data dan Jenis Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), oleh karena itu sumber data penelitian diperoleh dari kitab-kitab atau buku-buku karya tokoh yang diteliti maupun referensi lain yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni data primer dan data skunder. Adapun data primernya adalah kitab  Rawa’i Al Bayan fi Tasair Ayat Al Ahkam min Al Qur’an karya Muhammad Ali Ashobuny dan Tafsir al-Mishbah karya prof. Quraish shihab. Sedangkan data sekunder meliputi kitab-kitab maupun buku-buku atau referensi lain yang berkaitan dengan masalah jilbab wanita muslimah ataupun yang berkait dengan tokoh yang dikaji dalam penelitian ini.
2.      Metode Analisis Data
            Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif-komparatif, yakni penelitian  yang mendeskripsikan pemikiran Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab tentang hijab muslimah, yang kemudian dilakukan komparasi atau perbandingan atas pemikiran kedua tokoh tersebut. Dengan demikian, data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode komparasi (muqārran)31 untuk membandingkan Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab seputar hijab muslimah.

F.     Sistematika Pembahasan

Penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah sistematis dan terarah supaya mendapatkan hasil penelitian yang optimal, yang dituangkan dalam beberapa bab sebagai berikut:
Bab pertama sebagai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,  rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tela’ah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahaan.
Bab kedua berisi biografi Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab yang meliputi nama dan kelahiran,  perjalanan intelektual,  kondisi sosial politik yang melingkupi keduanya, serta metode atau manhaj ilmiah kedua tokoh tersebut yang didalamnya mencakup definisi salaf dan prinsip dakwah salafiyah.
Bab ketiga merupakan inti pembahasan. Dalam bab ketiga ini peneliti memberikan deskripsi atas pemikiran Muhammad Muhammad Ali Ashobuny dan Quraish Shihab tentang jilbab muslimah. Dalam bab ini pula peneliti menyajikan persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini.
Bab keempat merupakan penutup skripsi yang di dalamnya berisi kesimpulan dari pembahasan sebelumnya dan saran-saran, serta ucapan penutup


G.    Referensi
 Muhammad Quraish Shihab, ‘’Posisi sentral al-Qur’an dalam studi islam’’ dalam lauf  k Abdullah dan M. Rusli Karim Metode penelitian agama: sebuah pengantar (Yogyakarta: PT Tiara wacana yogya, 1990)

Amina Wadud Muhsin,  wanita di dalam al-Qur’an, ter Yaziar Radiati, (Bandung: pustaka, 1994)

 Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy, Jilbāb al- Mar'ah al-Muslimah fī al-Kitāb wa al-Sunnah (Ammān: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1413)

Kasīr, Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm (Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 2001)

Abdul Mustaqīm dan Sahiron Syamsuin (ed), op.cit.,

M. Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001)

Nur Islami, "Hijab menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fī Zilāl al-Qur'ān", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2001

Rastana, Pemikiran Muhammad Nāsiruddin Al-Albāniy Tentang Kritik Hadis”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003

Evi Fitriana, "Pandangan Gerakan Salafi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah terhadap Hadis-hadis tentang Cara Berpakaian Istri-istri Nabi SAW", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003.

Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)


[1] Muhammad Quraish Shihab, ‘’Posisi sentral al-Qur’an dalam studi islam’’ dalam lauf  k Abdullah dan M. Rusli Karim Metode penelitian agama: sebuah pengantar (Yogyakarta: PT Tiara wacana yogya, 1990), hlm. 135.
[2] Lihat QS.AS-Syu’ara[26]: 194-194.
[3] Amina Wadud Muhsin,  wanita di dalam al-Qur’an, ter Yaziar Radiati, (Bandung: pustaka, 1994) hlm, 19.
            [4] Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy, Jilbāb al- Mar'ah al-Muslimah fī al-Kitāb wa al-Sunnah (Ammān: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1413), hlm. 21.

[5] Kasīr, Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm (Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), Jld III, hlm. 288.
[6] Abdul Mustaqīm dan Sahiron Syamsuin (ed), op.cit., hlm. 134.

[7] M. Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 245-246.
   [8] Nur Islami, "Hijab menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fī Zilāl al-Qur'ān", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2001
[9] Nur Islami, "Hijab menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fī Zilāl al-Qur'ān", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2001
[10] Rastana, Pemikiran Muhammad Nāsiruddin Al-Albāniy Tentang Kritik Hadis”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003, hlm. 86-211.


[11] Evi Fitriana, "Pandangan Gerakan Salafi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah terhadap Hadis-hadis tentang Cara Berpakaian Istri-istri Nabi SAW", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003.
[12] Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 22.


                31 Menurut Haidar Baqir, metode tafsir muqarran dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk: pertama, unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang sama tapi dengan redaksi yang berbeda, ataupun sebaliknya. Kedua, unsur ayat dengan unsur hadis yang membahas kasus yang sama tapi dengan pengertian yang tampak berbeda atau bahkan bertentangan. Ketiga, unsur penafsiran mufasir tertentu dengan mufasir lainnya mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang sama. Lihat, Haidar Baqir, “Metode Komparasi dalam Tafsir al-Qur’ān”, dalam Al-Hikmah (Jurnal Studi-studi Islam, No. 2, Juli-Oktober, 1990), hlm. 20.

RUQYAH OLEH USTADZ ISMAIL

A. Latar belakang Dalam Islam yang mengakui secara pasti eksistensi dan fenomena gangguan Jin dan segala macam gangguan lainnya. Tentunya hal ini bersumber dari sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ruqyah dilakukan oleh seorang muslim, baik untuk tujuan penjagaan dan perlindungan diri sendiri atau orang lain, dari pengaruh buruk pandangan mata manusia dan jin (al-ain) kesurupan, pengaruh sihir, gangguan kejiwaan, dan berbagai penyakit fisik dan hati. Ruqyah juga bertujuan untuk melakukan terapi pengobatan dan penyembuhan bagi orang yang terkena pengaruh, gangguan dan penyakit tersebut. Sebenarnya praktek ruqyah ini bukan hal yang baru muncul di kalangan masyarakat, namun jauh hari praktek ini telah hadir yaitu zaman Nabi dan Sahabat sebagai upaya mewujudkan kesehatan dan sebagai bagian dari sistem pengobatan alternatif. Penelitian tentang praktek ruqyah ini bukan saja menarik untuk di kaji. Akan tetapi perlu dilakukan, baik dalam rangka realisasi da’wah maupun dalam rangka gerakan pengilmuan Islam dalam bimbingan dan konseling maupun psikoterapi. Oleh karenanya, studi Islam mengangkat permasalahan praktek ruqyah syar’iyah sebagai pokus penelitian dan analisis. Maka dalam hal ini, penulis melakukan Penelitian tentang praktek ruqyah terhadap Ustadz Ismail M.Se. dalam pemilihan penelitian ini bisa di dasarkan pada dua pertimbangan teoritis-normatif dan yang kedua pertimbangan teknis pragmatis, yakni penelitian ini mudah dijangkau, sehingga kerja penelitian dapat dilaksanakan dengan tenaga, waktu, dan biaya yang relatif murah. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan: 1. Bagaiman konsep terapi ruqyah yang di praktekkan oleh Ustadz Ismail? 2. Bagaimana pelaksanaan terapi ruqyah untuk menyembuh penyakit mental akibat gangguan Jin di praktekkan oleh Ustadz Ismail? C. Metode Penelitian 1. Data dan Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Di mana data primernya diperoleh dari wawancara dan observasi dengan Ustadz Ismail. Sedangkan data sekundernya diperoleh dari literatur-literatur buku yang terkait. Sumber data primernya yaitu Ustadz Ismail, sedangkan data sekundernya yaitu Terapi Pengobatan dengan Ruqyah Syar’iyah oleh Ustadzah Ummu Abdillah Hanien Az-Zarqaa’ dan Muroja’ah oleh Ustadz Abu Abdillah Arif Budiman. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian yaitu analisis deskripsi. Metode analisis ini akan menggambarkan praktek ruqyah oleh Ustadz Ismail serta media apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum meruqyah. Agar analisis ini lebih tajam, maka penulis menambahkan teorinya Parter Barger dan Karl Mannheim, tentang makna prilaku yang meliputi makna ekspresif , makna obyektif dan makna dokumenter . D. Gambaran praktek ruqyah oleh Ustadz Ismail 1. Ulasan singakt praktek ruqyah Praktek ruqyah untuk menyembuhkan mental akibat gangguan Jin maupun untuk penyembuhan penyakit mental murni, ataupun juga penyakit fisik sudah lazim dijelaskan pada masa Nabi Muhammad SAW. Nabi sendiri sering mempraktekkan tradisi ruqyah untuk mengobati atau menyembuhkan orang-orang yang mengalami gangguan mental maupun penyakit fisik. Kemudian praktek ruqyah yang di lakukan oleh Nabi itu, kemudian diikuti oleh para Sahabat, Tabiin ,Tabi’ tabi’in dan ulama generasi berikutnya. Maka oleh karena itu, dalam konteks ini dapat di katakan bahwa praktek ruqyah yang dilakukan oleh Ustadz Ismail adalah praktek yang sudah pernah dilakukan pada masa Nabi SAW. Ustadz Ismail memulai karirnya sejak tahun 1994 hingga sekarang. pekerjaan sehari-harinya adalah menjadi guru, berdagang dan dia juga salah satu anggota tariqat na’sabandiyah. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya panggil dengan sebutan Ustadz, gagasan dan prakarsanya dalam melakukan pengobatan ruqyah adalah banyak di lingkungan kita yang menjaga dirinya dari godaan syaitan dengan mengikuti cara-cara musyrik tanpa mereka sadari mereka mengandalkan benda-benda jimat yang berasal dari dukun. Dan yang kedua ingin membantu orang yang mengalami batin dan semisalnya. 2. Fasilitas layanan terapi ruqyah Praktek atau lokasi terapi ruqyah yang di lakukan Ustadz Ismail tidak tertentu. Ada yang dilakukan di rumahnya sendiri, di rumah si korban dan ada juga di tempat di mana dia harus menolong orang yang membutuhkan ruqyah (tempat kejadian peristiwa). Dalam praktek pelaksanaannya juga tidak menentu, tergantung bagaimana keadaan fasiennya, ada yang duduk, berbaring dan tidak jarang berdiri, itu sesuai dengan kondisi si pasien. Dalam proses ruqyah ini, ustadz Ismail membolehkan orang lain untuk menyaksikannya kecuali orang yang lemah mental dan anak kecil, dengan alasan di khawatirkan tidak kuatnya melihat peristiwa yang terjadi pada si korban. Sehingga berimplikasi terhadapnya (orang yang lemah mental dan anak kecil). Adapun media yang digunakan dalam praktek ini adalah air putih di dalam gelas dan minyak wangi yang bermerekkan missik. Dalam proses meruqyah Ustadz Ismail menggunakan Parfum tersebut dengan mengoleskan ke telapak tangannya kemudian memegang kepala pasien. Seraya membacakan ayat-ayat pilihan Ust. Ismail dalam ruqyahnya. Di antara bacaan yang di lakukan Ust. Ismail adalah: a. Istighfar b. Al-fatihah Tiga kali c. Al-Ikhlas Tiga kali d. An-Nas Tiga kali e. Al-Falaq Tiga f. Ilahi anta maqsudi wa ridha kamdlubi g. Tahlil (La Ilahaillah) h. Allah i. Ayat kursi Setelah selesai proses ruqyah disuruhlah si pasien meminum air putih yang telah disediakan, kemudiuan ditutup dengan membaca Alhamdulillahirobbil alamin. E. Analisis data Dari praktek ruqyah yang di lakukan ustadz Ismail memberikan beberapa makna yang harus kita paparkan dalam penelitian ini, yang pertama: seperti wawancara yang kami lakukan pada ustadz Ismail ketika dia melaksanakan proses ruqyah dia akan memegang kepala si pasien dengan di oleskan minyak wangi di tangan nya dan membacakan ayat ayat yang telah kami paparkan di atas . Untuk pembukaan ruqyah Ustadz Ismail membaca istighfar sebayak 3 kali, alasannya kita selaku hamba yang selalu melakukan kesalahan kita di anjurkan istighfar sebanyak mungkin seperti yang di lakukan baginda Rasulullah SAW. kemudian dilanjudkan dengan membaca surat al-fatihah, Al-ikhlas, Al-falaq dan An-nas, kata Ustadz Ismail selain manfaatnya yang luar biasa saya juga mengirimkan kepada baginda Rasulullah SAW dan para guru-gurunya. Dari paparan di atas, dapat kita pahami bahwasanya Ustadz Ismail ini memasukkan ritual ramalan yang dilakukan oleh tariqat Na’sabandiyah yang telah kami telusuri pada wawancara pertama. Adapun Di sini cukup jelas interaksi ilmu yang diperoleh ustadz Ismail dari gurunya kemudian di praktekkan. menrut Ustadz Ismail cara ruqyah yang dilakukan saat ini jauh berbeda dari yang sebelumnya baik itu dari segi cara atau proesnya maupun kualitasnya. Tapi dari hari kehari praktek ini dilakukan akhirnya menemukan sesuatu yang lebih dari yang sebelumnya. Interaksi ilmu ustadz Ismail dengan gurunya menemukan suatu keobjektifan yang pas menurutnya. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Ilahi anta maqsudi wa ridho kamatlibhi, adapaun manfaat dari membaca kalimat di atas adalah untuk mencari keberkahan Allah dalam mengobati pasien demikian ujar singkat ustadz Ismail. Di antara ayat-ayat yang dibaca, sebagai berikut 1. Istighfar عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هُمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِب Artinya: Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda. Barangsiapa yang senantiasa beristighfar niscaya Allah akan menjadikan baginya kelapangan dari segala kegundahan yang menderanya, jalan keluar dari segala kesempitan yang dihadapinya dan Allah memberinya rizki dari arah yang tidak ia sangka-sangka. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah) 2. Alfatihah Pada dasarnya semua ayat Al-Qur’an bisa digunakan untuk meruqyah. Namun secara khusus surat Al-Fatihah ini sering digunakan oleh para Sahabat, dalam sebuah riwayat dikatakan sahabat pernah mengobati orang yang tergigit kalajengking berkat dengan keyakinan dan pertolongan dari Allah pada saat itu juga langsung sembuh. Hal yang terkait dengan ini dijelaskan dalam sebuah hadits shahih. انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفْرَةٍ سَافَرُوْهَا حَتَّى نَزَلُوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوْهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوْهُمْ فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَيِّ فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِيْنَ نَزَلُوْا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُوْنَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ فَأَتَوْهُمْ فَقَالُوْا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ وَسَعْيُنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ فَهَلْ عَنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ وَاللهِ إِنِّيْ لأَُرْقِي وَلَكِنْ وَاللهِ لَقَدْ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُوْنَا فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوْا لَنَا جُعْلاً فَصَالَحُوْهُمْ عَلَى قَطِيْعٍ مِنَ الْغَنَمِ فَانْطَلَقَ يَتْفُلُ عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ { الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ } . فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ . قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِيْ صَالَحُوْهُمْ عَلَيْهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوْا فَقَالَ الَّذِيْ رَقِيَ: لاَ تَفْعَلُوْا حَتَّى نَأْتِيّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِيْ كَانَ فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا فَقَدِمُوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ فَذَكَرُوْا لَهُ فَقَالَ: وَمَا يُدْرِيْكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ . ثُمَّ قَالَ: قَدْ أَصَبْتُمْ اقْسِمُوْا وَاضْرِبُوْا لِيْ مَعَكُمْ سَهْمًا . فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Artinya: Ada beberapa orang dari kalangan sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka lakukan sampai mereka singgah pada suatu perkampungan Arab. Mereka pun meminta jamuan kepada mereka. Tapi mereka enggan untuk menjamu mereka (para sahabat). Akhirnya, pemimpin suku itu digigit kalajengking. Mereka (orang-orang kampung itu) telah mengusahakan segala sesuatu untuknya. Namun semua itu tidak bermanfaat baginya. Sebagian diantara mereka berkata, Bagaimana kalau kalian mendatangi rombongan (para sahabat) yang telah singgah. Barangkali ada sesuatu (yakni, obat) diantara mereka. Orang-orang itu pun mendatangi para sahabat seraya berkata, wahai para rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat, dan kami telah melakukan segala usaha, tapi tidak memberikan manfaat kepadanya. Apakah ada sesuatu (obat) pada seorang diantara kalian? Sebagian sahabat berkata, Ya, ada. Demi Allah, sesungguhnya aku bisa meruqyah. Tapi demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian, namun kalian tak mau menjamu kami. Maka aku pun tak mau me-ruqyah kalian sampai kalian mau memberikan gaji kepada kami. Merekapun menyetujui para sahabat dengan gaji berupa beberapa ekor kambing. Lalu seorang sahabat pergi (untuk meruqyah mereka) sambil memercikkan ludahnya kepada pimpinan suku tersebut, dan membaca, Alhamdulillah Robbil alamin (yakni, Al-Fatihah). Seakan-akan orang itu terlepas dari ikatan. Maka mulailah ia berjalan, dan sama sekali tak ada lagi penyakit padanya. Dia (Abu Sa’id) berkata, Mereka pun memberikan kepada para sahabat gaji yang telah mereka sepakati. Sebagian sahabat berkata, Silakan bagi (kambingnya). Yang meruqyah berkata, Janganlah kalian lakukan hal itu sampai kita mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita sebutkan kepada beliau tentang sesuatu yang terjadi. Kemudian kita lihat, apa yang beliau perintahkan kepada kita. Mereka pun datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menyebutkan hal itu kepada beliau. Maka beliau bersabda, Apa yang memberitahukanmu bahwa Al-Fatihah adalah ruqyah? Kemudian beliau bersabda lagi, Kalian telah benar, silakan (kambingnya) dibagi. Berikan aku bagian bersama kalian. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 3. Al-ikhlas.Al- falaq dan An-nas Artinya: Ubai ibnu Ka’ab pernah berkata: Ketika aku sedang bersama-sama Nabi SAW. Seorang badwi telah datang menemui Nabi sambil berkata Wahai Nabi Allah, aku mempunyai saudara yang sedang mengidap penyakit. Apa sakitnya tu tanya Nabi. Dia terkena penyakit gila, bawa dia kemari. kemudiannya diletakkan dihadapan Nabi SAW. lalu Nabi menjampi dengan membaca Surah Al-Fatihah, empat ayat permulaan surah Al-Baqarah, dua ayat Al-Baqarah ayat 163 & 164, ayatul Qursi, tiga ayat terakhir surat Al-Baqarah, satu ayat dari surah Al-A’raf (ayat 54), akhir ayat dari surah Al-Mukminun (ayat 115 – 118), satu ayat dari surah Al-Jin (ayat 3), sepuluh ayat dari awal Surah As-Soffat, tiga ayat dari surah Al-Hasyar (ayat 21 – 23), surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq dan surah An-Naas. (Ahmad dalam Musnadnya 35/106 -al-Hakim dalam Mustadrak 4/458, di shahihkan oleh Al-Hakim dalam Mutadrak 4/458). Kemudian dilanjutkan dengan membaca Thalil (La Ilahaillallah), Allah, dan Al-fatihah secara bergantian, kemudian ditutup dengan memaca Alhamdulillah. Ustadz Ismail memilih ayat atau do’a-do’a di atas dengan alasan, dari Al-Quran dan pernah di lakukan oleh Nabi SAW. Yang menjadi tekanan penting di sini adanya keyakinan yang harus ditanamkan untuk penyembuhan. Dari dokumenter yang hadir pada proses ruqyah Ustadz Ismail berbagai macam ekspresi yang di keluarkan masing-masing dokumenter yang hadir dan itu berbeda beda sesuai degan gagasan yang di keluarkannya pada saat wawancara dari beberapa dokumenter yang hadir pada proses pelaksanaan ruqyah ustadz Ismail. Yang pertama buk Sadir ujarnya, saya hadir pada waktu pelaksanaan ruqyah itu karna yang di ruqyah anak saya, kalau tidak anak saya ,saya tidak akan hadir karna saya takut sekali melihat orang yang sedang kesurupan. Yang kedua mas Ardi ujarnya, saya hadir karna saya sangat penasaran sekali seperti apa orang yang kesurupan dan benar atau tidak bisa di obati dengan bacaan ayat-ayat ruqyah itu. Dari dua dokumenter yang kami wawancarai berbeda sekali ekspresi yang di keluarkannya. PENUTUP Kesimpulan Dari paparan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwasannya praktek ruqyah merupakan suatu sistem pengobatan secara tradisional dan ada sebagian kalangan mengatakan bahwa ruqyah merupakan obat alternatif. Ruqyah yang dilakukan oleh Ustadz Ismail bukanlah suatu pengobatan cara terbaru, namun hal ini telah hadir pada zaman Rasulullah, maka dalam hal ini apa yang dilakukan oleh Ustadz Ismail sesuai dengan tuntunan ajaran Rasulullah dan tidak keluar dari garis garis ajaran Islam.