instrumen kal ho na ho

Senin, 30 Desember 2013

Max Weber dan Semangat Kapitalisme

 Max Weber dan Semangat Kapitalisme


Pendahuluan
Sebagai Seorang Sosiolog, konsep sosiologi Weber dapat dipandang sebagai upaya yang menengahi antara dua cara pandang yang bertentangan yang terjadi pada masanya. Cara pandang pertama yang diilhami oleh keberhasilan ilmu alam, dimana metode mereka akan mampu memacu perkembangan studi manusia dan masyarakat. Cara pandang kedua, menekankan bahwa sesuatu yang penting
dalam manusia yaitu spirit, pikiran, budaya dan sejarahnya, tidak akan mampu dipahami melalui teknik-teknik ilmu alam.[1]
Dalam salah satu bukunya, pembahasan Weber dapat ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx dan teori-teorinya. Marx yang berpendapat, pada umumnya, bahwa semua lembaga manusia termasuk agama, didasarkan pada dasar-dasar ekonomi.
Sebaliknya Etika Protestan sebagai karya weber yang cukup populer berlawanan dengan teori ini. Buku tersebut menyiratkan bahwa kapitalisme dipengaruhi oleh semangat agama itu sendiri. weber menemukan di dalam agama protestan yang beraliran Calvinis ajaran ini. Konsep Calling, “panggilan” salah satunya, bahwa bekerja merupakan panggilan dari tuhan, bukan hannya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam etika protestan yang ditemukan oleh weber berbeda dengan etika dalam islam yang ditemukan dalam penelitian selanjutnya. Menurut weber, tidak ada potensi islam untuk menjadi kapitalis. Hal ini salah satunya disebabkan oleh pandangan weber tentang islam bahwa islam adalah agama tidak rasional. Selain itu, adanya sistem patremoneal dan feodalisme yang bisa dilihat dalam sejarah islam.
Makalah ini akan membahawa kapitalisme Max Webber dan bagaimana pandangan terhadap islam.
Pembahasan
1.      Biografi
Max Weber (1864-1930) dilahirkan di Erfurt Jerman pada tanggal 21 April 1864, dari kalangan keluarga kelas menengah. Ayahnya seorang birokrat yang relatif penting dalam posisi politik. Sedangkan ibunya adalah seorang penganut ajaran calvin. Ini mempengaruhi psikologinya, dimana ayahnya adalah seorang yang mementingkan duniawinya, sedang hidup ibunya banyak tertuju pada aspek kehidupan akhirat.[2]
Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Marianne Weber, 1975:62). Mula-mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Ketika berumur 18 tahun Weber pergi dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg. Hingga ia mengikuti gaya hidup ayahnya, yang menjadikan ia terjerumus dalam pergaulan bebas. Sebelum akhirnya ia menjadi sarjana hukum.
Setelah kuliah tiga semester Weber meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Sampai 8 tahun kemudian ia menjadi pengacara dan pengajar di sana. Dalam proses itu minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai ibunya dan antipatinya terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Dengan mengikuti ibunya, Weber menjalani hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern disebut Workaholic (gila kerja). Semangat kerja yang tinggi ini mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada 1896.[3]
Banyak dari karya-karyanya yang pada akhirnya belum sempat ia revisi, disebabkan oleh penyakit tahunan yang ia derita. Koleksi karya-karyanya banyak diterbitkan setelah ia meninggal. Karya yang paling akhir, yang disusun berdasarkan catatan-catatan perkuliahan yang ditulis oleh para mahasiswanya di Munich yaitu General Economic History. Karyanya yang paling terkenal adalah The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism yang berisikan tentang penelitiannya mengenahi hubungan etika keagamaan dengan semangat kapitalisme. Secara spesifik buku ini membahas tentang keterkaitan antara etika protestan dengan semangat kapitalisme.  
2.      Weber dan Semangat Kapitalisme
Menurut max weber kapitalisme merupakan paham yang baik yang dapat menyejahterakan manusia jika memakai teori ini. Kapitalisme berawal dari etika protestan yang mengajarkan untuk hidup hemat, rajin bekerja, disipilin sebagai bentuk pemujaan terjadap Tuhan. selain itu etika protestan sangat ketat sekali terhadap hidup santai dan bersenang-senang  karena hal itu munculah semangat kapitalisme.
Untuk sampai pada penemuan atas penelitiannya itu, semula yang menjadi pokok pikiran utama weber adalah bagaimana lahirnya lahirnya kapitalisme dan bagaimana ia bisa hidup terus menerus. Dalam hal ini logika weber ada tiga; pertama, bila kapitalisme merupakan hasil tindakan manusia maka tentulah ada tindakan khusus yang dilakukan oleh kelas tertentu. Siapakah pendiri kapitalis? Jawaban weber adalah tipe baru kewirausahaan dan tenaga kerja.[4]
Yang membedakan kedua tipe tersebut dengan yang lainnya adalah adanya etos atau mental khusus, “semangat kapitalis”. Inilah tahapan kedua Weber. Campuran unik antara motivasi dan nilai ini mencakup keuntungan dalam arti menghasilkan pendapatan dan khususnya mencari uang sebagai tujuan utama, dan tidak lagi disubordinasikan pada pemenuhan kebutuhan lain. Apa yang semula dijadikan alat untuk memenuhi tujuan, menjadi tujuan itu sendiri.[5]
Ketiga, bila semangat kapitalis itu merupakan syarat kelahiran kapitalis dari mana datangnya semangat itu.di sini lah sumbangan pemikiran asli weber, yakni semangat kapitalisme yang banyak ditemukan dalam etika protestan khususnya Calivinis.[6]
Weber Melihat adanya keterkaitan antara penganut kehidupan Calvinis yang diberi pedoman oleh agama mereka dan jenis prilaku dan sikap yang diperlukan bagi kapitalisme agar bekerja secara efektif. Calvinis mendorong memusatkan diri pada pekerjaan duniawi dan pada saat yang sama juga mewujudkan kehidupan asketik: sederhana, rajin beribadah, dan hidup hemat.[7] Calvinis meyakini bahwa mereka tidak akan diberi ganjaran oleh tuhan kecuali mereka sukses dalam kehidupan. Bekerja tekun bukan alat untuk keselamatan tetapi merupakan tanda lahiriah bahwa ia telah dirahmati oleh tuhan. [8]
Weber mengadakan penelitian mengenai peran agama-agama dan pengaruhnya atas etika ekomomi. Weber mencoba membuktikan bahwa tanpa reformasi Protestan, kapitalisme Barat tidak akan pernah dapat berkembang hingga kemajuannya seperti sekarang ini. Dia menampilkan bukti mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama Protestan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kapitalisme.
Konsep semangat kapitalisme yang digunakan, dimengerti dalam pengertian khusus yakni sebagai semangat kapitalisme modern.[9] Oleh karena itu berkaitan dengan kapitalisme modern Eropa Barat dan Amerika. Kapitalisme menurut Weber memang ada di Negara-negara non-Eropa dan Amerika seperti di Cina, India dan Babilon serta di dunia maju abad-abad pertengahan, akan tetapi dalam wilayah-wilayah itu etos kerja khusus semacam Protestan berkurang di mana kerja harus ditunjukkan, seolah-olah kerja merupakan suatu tujuan yang pasti dalam kerja itu sendiri, semacam panggilan. Sistem kapitalis begitu membutuhkan kepatuhan terhadap suatu panggilan untuk mencari uang. Oleh karenanya, konsepsi bahwa mencari uang sebagai tujuan di dalamnya yang mengikat manusia sebagai suatu panggilan menjadi berlawanan dengan perasaan etis pada keseluruhan periode sejarah.
Penolakan terhadap tradisi atau perubahan yang sangat cepat dalam metode dan valuasi terhadap kegiatan ekonomik tidaklah mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama. Hanya saja Weber juga menyatakan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dari berbagai kelompok keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam kapitalisme yang mapan pada masanya sendiri. Di Jerman, Perancis dan Hongaria, Weber menyatakan dengan tegas bahwa distribusi pekerjaan dan persiapan pendidikan bagi mereka menunjukkan bahwa para penganut Protestan Calvinis lebih besar kemungkinannya untuk memainkan peranan dalam dunia usaha dan manajerial, serta untuk melaksanakan pekerjaan di berbagai organisasi modern berskala besar, dibandingkan dengan para penganut Katholik atau Protestan Lutheran. Kedua kelompok ini cenderung tetap menekuni pekerjaan di bidang pertanian, usaha kerajinan berskala kecil, atau dalam berbagai profesi humanistik, hukum, dan pemerintahan.
Konsepsi baru dari suatu agama, yaitu mengajarkan untuk memandang pencarian kekayaan tidak hanya sebagai suatu kemajuan, tetapi sebagai suatu tugas. Ini merupakan perubahan dari standart moral yang mengubah suatu kelemahan alami ke dalam suatu ornamen semangat. [10] Hal ini dapat dihubungkan sebagaimana ajaran Calvinis, yang sebagian berisikan tentang suatu pekerjaan bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi. Kerja adalah suatu tujuan akhir spiritual. Dikatakan bahwa suatu kemalasan yang mengakibatkan rendahnya kreatifitas kerja adalah suatu ancaman besar. [11]
Dalam kapitalisme yang diusung oleh weber ada transformasi yang bersifa positif yaitu dengan cara membangun struktur. Dengan memobilisasi diri mengejar kesuksesan, individu mulai membanding-bandingkan prestasi mereka. Mengakumulasikan kapital dari pada mengkonsumsi, menginvestasikan kembali keuntungan dari pada langsung menggunakannya. Ini menjadi satu-satunya strategi untuk menjaga kesuskesan di pasar tenaga kerja yang kompetitif.[12]
3.      Islam dalam Pandangan Weber
Setelah meyakini adanya hubungan antara agama Protestan Calvinis dan semangat Kapitalisme, Weber lebih lanjut berusaha membahas dan mengidentifikasi berbagai corak organisasi ekonomik lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan antara Calvinisme dengan beberapa agama seperti Hindu, Budha, Taoisme, Katholik, termasuk Islam. Walaupun, sebenarnya, komentar weber tentang islam termuat dalam tulisan yang terpencar-pencar karena kajian weber tentang islam tidak sampai tuntas dikarenakan karya weber yang berjudul “Religious Sosiologies” belum selesai, ia telah meninggal dunia pada tahun 1920.
Islam dalam pandangan Weber adalah sebuah agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama yang yang menekankan ‘prestise sosial’. Berbeda dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Islam periode Mekkah sebagai agama eskatologis berkembang, mempertahankan suatu tendensi untuk menarik diri dari dunia. Namun dalam perkembangan selanjutnya di Madinah dan dalam evolusi komunitas-komunitas awal, agama ini berubah menjadi agama prajurit dengan tekanan-tekanan kelas yang sangat kuat. Dengan ulasan lain, seperti dikutip oleh Taufik Abdullah, meskipun Islam dipercaya sebagai agama yang menganut sistem teologi yang ‘monoteistis universalistis’, Islam dianggap Weber sebagai agama ‘kelas prajurit’, mempunyai kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’, berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat ’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi (pertumbuhan) kapitalisme’. Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal dan sangat menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teologis.
Perintah-perintah religius hukum suci tidak diarahkan pada tujuan konversial dalam konteks pertamanya. Tujuan utamanya adalah perang hingga para pengikut agama-agama kitab asing akan membayar upeti (jizyah), yaitu hingga Islam tumbuh dalam puncak skala sosial dunia dengan meminta upeti dari agama-agama lainnya. Sehingga Islam adalah agama para petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan yang bersifat duniawi.
Weber kemudian memandang Islam dalam banyak segi sebagai lawan puritanisme di mana ia selanjutnya memiliki semangat hedonis murni. Hedonisme yang dimaksud Weber nampak pada kenyataan Islam yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup, khususnya terhadap wanita, kemewahan dan harta benda. Etika al-Quran yang tidak mempertentangkan antara perintah-perintah moral dengan dunia menghasilkan suatu kesimpulan bagi Weber bahwa tidak mungkin etika asketis yang dominan akan muncul di dalam Islam.
Kenyataan inilah yang menurut Weber merupakan suatu bentuk penyelewengan dari monoteisme Islam pada kecenderungan hedonisme murni tadi. Penyelewengan seperti dimaksud Weber adalah faktor mengapa asketisme tidak ada dalam Islam yang implikasinya kapitalisme rasional tidak dapat tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh budaya Islam. Alasannya, pertama, masyarakat Islam bersifat feodalistik ‘prebendal’ dan birokrasi patrimonial; dua faktor yang tidak mungkin memunculkan terciptanya kapitalisme rasional. Kedua, kondisi-kondisi militer dan ekonomi masyarakat Islam tidak memadai bagi perkembangan kapitalisme. Pendek kata, bagi Weber Islam anti rasionalitas.
Alasan kuat Weber untuk sampai pada kesimpulan ini adalah praktek-praktek ekonomi kaum Muslim yang tidak mendukung proses akumulasi kapital atau pertumbuhan kapitalisme secara keseluruhan. Demikian pula praktek-praktek sufistik Islam yang pada umumnya mengesankan sikap ‘melupakan dunia’ dijadikan dasar bagi kesimpulan-kesimpulan di atas. Lebih lanjut Weber juga percaya bahwa kaum Muslim, lagi-lagi berbeda dengan Protestan aliran Calvin, tidak memiliki sikap sederhana, hemat, tekun atau berperhitungan dalam seluruh kegiatan ekonomi mereka. Pendeknya, mereka tidak mempunyai semangat beruf (calling atau panggilan ilahiyah) dan asketis yang mempunyai afinitas dengan pertumbuhan kapitalisme.
Berbeda dengan yang ditemukan weber dalam beberapa ajaran calvinis. Ide “Panggilan” untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. “Panggilan” merupakan cara hidup yang sesuai dengan kehendak tuhan yang telah dibebankan kepada manusia, dimana manusia harus bekerja. Calvinisme, dalam hal ini puritan, menganggap pekerjaan sebagai panggilan yaitu sebagai tugas suci untuk manusia. Jadi, bekerja bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup. melainkan untuk melaksanakan misi suci yang datang dari agama.
Penutup
Sambil mengesampingkan persoalan mengapa Weber memandang Islam seperti itu, jelas bahwa pandangan-pandangan tersebut baik secara teologis maupun soiologis sulit untuk diterima terutama oleh kalangan Islam. Atau, setidak-tidaknya oleh mereka yang memahami Islam dengan “baik”. Bahkan oleh sebahagian orientalis pun pandangan seperti diungkapkan Weber di atas sulit untuk diterima.
Dan di sini patut disebut pandangan orientalis terkemuka HAR Gibb, yang melihat Islam lebih dari sekedar agama, tetapi sebagai suatu sistem peradaban yang menyeluruh. Atau, seperti apa yang ditulis oleh Bryan S. Turner, ”Weber was hopelessly incorrect in purely factual terms”.
Daftar bacaan
Brian Morris, Antropologi Agama,cet. II, Yogyakarta: AK Group, 2007
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008)
Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010)
Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya :  Pustaka Promethea, 2000)
R.H. Tawney, The Protestan dan Semangat Kapitalisme, terj. (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000)



[1] Brian Morris, Antropologi Agama,cet. II, Yogyakarta: AK Group, 2007, hlm. 67
[2] Brian Morris, Antropologi Agama,cet. II, Yogyakarta: AK Group, 2007, hlm. 68
[3] Biografi Max Weber by Prof. Dr. H. Paisal Halim, M.Hum.htm
[4] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008), hal. 275
[5] Ibid.
[6] Ibid
[7] Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 120
[8] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Ibid,,,,hal. 277
[9] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya :  Pustaka Promethea, 2000, hlm.
[10] R.H. Tawney, dalam Pengantar terj. The Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya: Pustaka Promethea, 2000,, hlm. 9
[11] Ibid, hlm. 10
[12] Piotr Sztompka, Teori Perubahan Sosial,,,Ibid hal. 278


di ambil dari http://madurapost.blogspot.com/2013/06/max-weber-dan-semangat-kapitalisme.html

Minggu, 29 Desember 2013

sosiologi, Pengenalan Lebih Dalam Tentang Post Modern


Pengenalan Lebih Dalam Tentang Post Modern



Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia. 


Sejarah penaklukan alam dibawah tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia terdiri dari 3 tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.


Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kejumudan dan kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.


Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.


Sejarah  pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi  televisi, koran, iklan, 
film, internet  berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.


Namun dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi.


Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme terhadap modernisme.


Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan: seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat  sebenarnya  sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche,Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmodernisme.


Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh  kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni  merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).


Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear  yang disebutnya Grand Narrative  telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.


Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.


Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis,  Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan  vice versa. Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain.Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki,melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang penyair Perancis  ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni:ironi.Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.


Akhirnya, sebuah suara lain yang mencoba membaca dan menyingkap perubahan watak modernisme adalah Jean Baudrillard. Filsuf Perancis ini mengambil jalan agak berbeda dengan para pendahulunya. Dengan mengambil alih pemikiran Marcel Mauss, Georges Bataille, Karl Marx, Roland Barthes dan Marshal McLuhann Baudrillard memusatkan diri menganalisa modernisme dari ranah budaya. Bertitik tolak dari itu ia menunjukkan adanya diskontinuitas budaya dalam realitas masyarakat dewasa ini. Melalui bukunya Simulations (1983), Baudrillard mengintrodusir karakter khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah masyarakat yang hidup dengan silang-sengkarut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte, 1994: 235). Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983:54-56). Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri.  Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi  dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi.Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada tingkatan ini merupakan wujud silang-sengkarut tanda, citra dan kode budaya yang tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata,padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Realitas semu ini merupakan ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi representasi dalam wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta. 


Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah. Realitas sosial,budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model (Baudrillard, 1987: 17). Boneka Barbie, tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini. Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Lewat televisi,film dan iklan, dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi  semuanya lebur menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33).Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini  dengan micro processor, memory bank, remote control, telecard, laser disc, dan internet  menurut Baudrillard tidak saja dapat memperpanjang badan atau sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang berlebih, meledak, semu. Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Tokoh Rambo,boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager  yang merupakan citra-citra buatan  nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983:2). Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu direproduksi (Baudrillard, 1983: 146).


Sementara itu dalam bukunya Symbolic Exchange and Death (1993) 
Baudrillard menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi,telah terjadi pergeseran nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa ini yakni dari nilai-guna dan nilai-tukar ke nilai-tanda dan nilai-simbol. Berangkat dari analisa masyarakat produksi Marx  dengan konsep-konsep: nilai-guna (use-value), nilai-tukar (exchange-value), fetishism of commodity, social class, teori gift (pemberian) Marcell Mauss dan  teori expenditure (belanjaan) Georges Bataille, pemikiran Baudrillard akhirnya menyempal dari pemikiran sang pendahulunya dan mengambil jalannya sendiri. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, seperti disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini. Sementara dari Mauss dan Bataille, Baudrillard bersepakat bahwa aktivitas konsumsi manusia sebenarnya didasarkan pada prinsip non-utilitarian(Lechte, 1994: 233). Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan makna simbolisnya (Lechte, 1994: 234). Mengacu Marx, terdapat dua nilai-tanda dalam sejarah kebudayaan manusia yakni, nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna merupakan nilai asali yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dipandang memiliki guna bagi kepentingan manusia. Nilai inilah yang mendasari bangunan kebudayaan masyarakat awal. Selanjutnya dengan perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai-tukar. Nilai-tukar dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai-tukarnya.


Sementara itu, menurut Baudrillard, telah terjadi perubahan dalam struktur masyarakat Barat dewasa ini. Masyarakat Barat dewasa ini adalah masyarakat konsumer: masyarakat yang haus mengkonsumsi segala sesuatu  tidak hanya objek-real, namun juga objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media dan iklan. Tanda menjadi salah satu elemen penting masyarakat konsumer. Sejalan dengan itu, Baudrillard mengubah periodisasi yang dibuat Marx mengenai tingkat perkembangan masyarakat dari: masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis, menjadi masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan masyarakat massa. Menurut Baudrillard, dalam masyarakat primitif, tidak ada elemen tanda. Objek dipahami secara alamiah dan murni berdasarkan kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis, terdapat sedikit sirkulasi elemen tanda dalam suatu budaya simbol yang baru tumbuh. Saat inilah lahir prinsip nilai-tukar. Akhirnya, dalam masyarakat massa, sirkulasi tanda mendominasi seluruh segi kehidupan. Dalam masyarakat massa, media menciptakan ledakan makna yang luar biasa hingga mengalahkan  realitas nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat atau nilai-tukarnya, melainkan makna dan nilai-simbolnya (Baudrillard, 1993: 68-70).


Berangkat dari analisa Marx diatas, serta dengan membaca kondisi masyarakat Barat dewasa ini, Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalisme-lanjut (late capitalism) dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar telah dikalahkan oleh sebuah nilai baru, yakni nilai-tanda dan nilai-simbol. Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang lahir bersamaan dengan semakin meningkatnya taraf ekonomi masyarakat Barat, lebih memandang makna simbolik sebuah objek ketimbang manfaat atau harganya. Fenomena kelahiran nilai-tanda dan nilai-simbol ini mendorong Baudrillard untuk menyatakan bahwa analisa komoditi Marx sudah tidak dapat dipakai untuk memandang masyarakat Barat dewasa ini. Hal ini karena dalam masyarakat kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol,citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi.Lebih lanjut Baudrillard menyatakan  kebudayaan postmodern  memiliki beberapa ciri menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua, kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta(fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa.Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen (Harvey, 1989: 102).


Dalam konstruksi kebudayaan seperti inilah artefak-artefak budaya postmodern menemukan dirinya. Tidak ada lagi mitos Sang Seniman dalam wacana seni modern yang berpretensi membebaskan dunia. Tidak ada lagi karya seni, kecuali reproduksi dari berbagai unsur seni yang sudah ada. Tidak ada lagi perbedaan antara seni rendah dan seni tinggi, seni populer (popular art) dan seni murni (fine art). Estetika seni postmodern ditandai dengan prinsip-prinsip pastiche (peminjaman dan penggunaan berbagai sumber seni masa lalu), parodi (distorsi dan permainan makna), kitsch (reproduksi gaya,bentuk dan ikon), serta camp (pengelabuhan identitas dan penopengan (Pilliang, 1998: 109).


Diskursus kebudayaan postmodern mendapatkan legitimasi sosio-kultural-filosofisnya justru dari kegamangan era modern dalam menuntaskan proyek Pencerahan. Proyek modernisme yang dihidupi oleh semangat Pencerahan ini dengan keyakinan akan prinsip kemajuan  sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi suatu masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata pengetahuan dan system produksi yang keras  saat ini tengah menghadapi ujian besar dengan menyebarnya berbagai patologi modernitas.


Postmodernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan  implikasi asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam kerangka kritis itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value), semiologi Roland Barthes, society of spectacle Guy Debord, serta konsep global village dan medium is  message Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta  didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini.

di kutif dari http://ideasignit.blogspot.com/2010/11/pengenalan-lebih-dalam-tentang-post.html

Agama Dalam Pandangan Emile Durkheim dan Peter L. Berger

Agama Dalam Pandangan Emile Durkheim dan Peter L. Berger



A.    Pengantar
Pada presentasi sebelumnya telah diuraikan bahwa secara sosiologis agama merupakan realitas sosial. Selanjutnya kita akan melihat esensi agama itu sebagai realitas sosial dalam pandangan para sosiolog, dan pada presentasi ini kami akan menampilkan dua tokoh terkenal dalam sosiologi, yaitu Emile Durkheim dan Peter L. Berger.

B.     Agama Dalam Pandangan Emile Durkheim[1]
Agama: Solidaritas Sosial
Dalam karyanya The Rules of Sociological Method,[2] Durkheim mengemukakan bahwa objek sosiologi adalah fakta sosial, dan semua fakta sosial – termasuk masyarakat – harus diperlakukan sebagai benda (thing). Bagi Durkheim, fakta sosial ada di level kehidupan bersama atau kolektif, sehingga dibedakan dari fakta individual. Fakta sosial pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat massal, dan individu terpengaruh oleh fakta sosial lantaran individu merupakan bagian kolektif dari dinamika ini. Salah satu fakta sosial yang dipandang penting oleh Emile Durkheim adalah solidaritas sosial, yakni suatu bentuk hubungan sosial di antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada sentimen moral dan kepercayaan bersama, dan diperkuat oleh perasaan senasib sepenanggungan.[3]
Dalam kaitan itu, karya besar terakhir yang selanjutnya dihasilkan Durkheim ialah telaahnya tentang hubungan antara solidaritas sosial dan agama. Perhatian terhadap landasan-landasan moral masyarakat, dikembangkan dalam perspektif sosiologi klasiknya tentang fungsi-fungsi agama yang bersifat sosial. Analisisnya terkait hubungan timbal-balik yang erat antara agama dan masyarakat, diuraikan secara panjang-lebar dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life,[4] yang mana dia mengembangkan perspektif teoretisnya secara menyeluruh tentang solidaritas sosial. Dalam telaahnya, ia menjelaskan bahwa agama sebagai fakta sosial hadir dalam kesadaran anggota masyarakat, karena gejalanya yang inter-subjektif. Bagi Durkheim, analisis sosiologis mengenai agama harus dimulai dengan pengakuan akan adanya saling ketergantungan antara agama dan masyarakat. Pilihannya untuk mempelajari masyarakat sederhana (“masyarakat primitif” menurut terminologi yang dia pakai), dikarenakan sifat ketergantungan ini nampak lebih nyata dibanding dalam konteks masyarakat yang sudah maju. Yang ia lakukan adalah mencari penjelasan tentang gejala agama di masyarakat primitif untuk memahami dasar-dasar kehidupan sosial.
Dengan demikian, bagi Durkheim, dasar-dasar moral dalam masyarakat mempunyai asal-usulnya dalam pengalaman-pengalaman religius kolektif. Kepercayaan-kepercayaan agama dan ritus-ritusnya mencerminkan dan memperkuat kembali struktur sosial masyarakat. Sehingga memudarnya pengaruh agama dalam masyarakat modern mungkin dapat dilihat dengan mudah dalam perspektif Durkheim sebagai satu indikator runtuhnya solidaritas sosial.

Agama: Sakral, Profan, Ritus dan Totem
Analisisnya terkait dengan hal ini berangkat dari konteks kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual agama totemik orang Arunta, suku bangsa primitif di Australia Utara. Organisasi sosial orang Arunta didasarkan pada klan[5] sebagai satuan sosial yang primer. Menurut Durkheim, corak utama dari agama apa saja sesungguhnya berhubungan dengan suatu dunia yang suci (sacred realm). Asumsinya, agama manapun pasti memiliki tiga komponen mendasar; sistem kepercayaan (kepercayaan religius), ritus (upacara keagamaan), dan komunitas religius (komunitas moral). Agama lantas didefinisikannya sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan benda-benda suci.[6]
Konsep tentang yang suci dihubungkan dengan suatu dunia yang dipercayai sebagai yang terpisah atau berbeda dari yang biasa (dunia kehidupan yang profan). Bagian utama analisis Durkheim meliputi usaha mencari sumber ide yang suci itu. Ide tentang yang suci menurut dia, harus mencerminkan atau berhubungan dengan sesuatu yang riil (tak sekadar ilusi atau imajinasi). Berdasarkan perspektif teoretisnya, maka bagi Durkheim, ide mengenai yang suci muncul dari kehidupan kelompok dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol. Klan-klan totemik primitif lantas mengidentifikasikan dirinya sendiri dengan nama-nama totemnya yang khusus. Apapun totemnya itu (bisa binatang, bisa tumbuhan), nama totem adalah nama atau lambang klan itu, dan mereka percaya bahwa benda totem itu mewujudkan prinsip totem yang suci, atau apa yang disebut mana[7]. Konsep mana bermula dari perasaan ketidakberdayaan (takut, lemah, dan tak berdaya terhadap kekuatan jahat) menghadapi lingkungannya. Karenanya, ia butuh bergantung pada suatu keberadaan yang lebih superior yang dapat menjadi tumpuannya. Oleh sebab itu, antara klan dan totemnya, ada hubungan kekerabatan yang dekat, dan kekerabatan ini dinyatakan dalam satu nama. Menurut Durkheim, totem adalah simbol masyarakat tertentu yang disebut klan.[8]
Bagaimana individu-individu menjadi sadar akan suatu kekuasaan yang seperti itu, sebetunya didasarkan pada satu bentuk interaksi dan saling merangsang – yang dalam hal tertentu dapat dibandingkan dengan dinamika-dinamika psikologi kerumunan. Individu-individu datang berkumpul pada suatu kesempatan upacara (ritus) dan melalui interaksi yang tinggi sambil memusatkan perhatian pada satu objek yang sama, mereka memunculkan suatu peningkatan emosional secara bertahap yang menjadi kuat dalam setiap orang, karena kesadaran bahwa yang lain pun sedang ikut dalam pengalaman yang sama. Tindakan setiap orang berkontribusi terhadap pengalaman bersama itu, sehingga pengalaman kolektif secara keseluruhan melampaui setiap individu.  Hasil akhir dari proses saling merangsang secara kolektif ini, adalah terciptanya suatu situasi emosional di mana individu-individu kehilangan individualitasnya serta kontrol diri dan terhanyut dalam suatu jenis keadaan yang secara emosional “tinggi”. Dengannya, ada rangsangan perilaku yang tidak akan pernah terjadi dalam kesempatan-kesempatan biasa (profan) atau secara pribadi. Perasaan setiap anggota kelompok, lantas diperkuat oleh interaksi antar sesama yang seringnya terjadi secara intensif. Terhadap gambaran ritus-ritus totem primitif, Durkheim menulis:
Apabila mereka sekali datang berkumpul, ada semacam kontak elektrisitas terbentuk karena kebersamaan mereka yang dengan cepat mengantar mereka ke suatu keadaan meluap-luap yang luar biasa tingginya. Setiap perasaan yang diungkapkan, mendapat tempat dalam hati semua orang tanpa perlawanan, yang sangat terbuka terhadap kesan-kesan luar; semuanya saling memberi gema pada salju yang bertambah besar pada waktu dia melongsor ke bawah … Semangat yang ditampakkan adalah yang berhubungan dengan semakin besarnya perasaan yang tidak dapat dikendalikan lagi. Lalu di tengah-tengah lingkungan sosial yang meluap-luap (effervescent) itu dan dari keadaan yang meluap-luap ini sendirilah nampaknya ide agama itu lahir. [9]

Dalam pengalaman kolektif seperti itu, individu-individu merasa dirinya berada dalam suatu suasana di mana hadir suatu kekuasaan yang luar biasa dimana mereka menghubungkan dirinya dengan intim sekali. Merasakan pentingnya kekuasaan (kekuatan) yang transenden atau yang suci ini, para anggota klan mempunyai satu kebutuhan untuk menghadirkan bagi mereka sendiri dalam suatu bentuk yang dapat dilihat, dan untuk menjelaskan kepada mereka sendiri. Pada hakikatnya inilah tujuan benda totem itu. Totem merupakan simbol kehidupan kolektif dan kekuasaan kelompok, dan dilihat oleh anggota-anggota klan itu sebagai sumber kekuasaan luar biasa yang mereka alami. Jadi pembedaan dalam definisi Durkheim mengenai agama antara yang suci dan yang profan, berhubungan dengan pembedaan antara kehidupan kolektif orang-orang dan kehidupan pribadinya.

C.    Agama Dalam Pandangan Peter L. Berger[10]
Agama: Proyeksi Manusia
Kontroversi yang sering terjadi dalam setiap usaha teoretisasi realitas sosial dalam sosiologi adalah kuatnya kecenderungan untuk menekankan salah satu kutub dari realitas sosial tersebut, yakni individu atau masyarakat. Kecenderungan ini sebenarnya telah mereduksi usaha teoretisasi ilmiah terhadap fenomena agama sebagai suatu realitas sosial. Max Weber misalnya, lebih menekankan aspek individu sebagai pembentuk masyarakat, sedangkan Karl Marx sangat menekankan aspek struktur sosial daripada individu. Peter L. Berger berupaya mengatasi masalah reduksionisme teoretisasi ilmiah ini dengan kerangka teori sosial dialektisnya, dimana individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Dalam bukunya “The Sacred Canopy: Element of a Sociological Theory of Religion”, Berger menggambarkan tiga momentum proses dialektisnya, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.[11] Inti dari ketiga momentum proses dialektis ini adalah bahwa manusia melalui tindakan dan interaksinya secara terus menerus menciptakan suatu realitas sosial yang dimiliki bersama, termasuk realitas yang dialami sehari-hari. Masih dalam buku yang sama, Berger memahami agama sebagai bentuk proyeksi manusia yang dihasilkan lewat eksternalisasi.[12] Rumusan Berger tentang agama ini bisa menjadi titik-acuan bagi kajian empiris terhadap agama, yang tentunya berada di luar kajian teologis dan etis.
Pemikiran yang seperti ini juga nampak dalam bukunya bersama Thomas Luckmann “The Social Construction of Reality: a Treatise in the Sociology of Knowledge”, dengan mengatakan bahwa sesungguhnya “man constructs his own nature, or more simply, that man produces himself”.[13] Mengapa manusia perlu melakukan proyeksi semacam ini? Ini bersumber dari kesadaran manusia akan eksistensinya yang berhingga atau terbatas (the finitude of individual existence) dan karenanya sebisa mungkin memaknai kehidupan bahkan kematiannya.[14] Maka agama dalam konteks ini berperan sebagai universum simbolik, yaitu berfungsi “menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar,” dan menolong setiap orang untuk “kembali pada realitas” hidup sehari-hari.[15] Artinya, agama memberikan legitimasi atas tatanan dunia sosial, melindungi diri darichaos atau dari anomi seperti yang diistilahkan oleh Robert K. Merton.

Agama: Melindungi dan Sakral – Empiris dan Metafisik
Harus diakui bahwa dalam realitasnya keberadaan manusia selalu bersinggungan dengan masyarakat dengan seluruh dinamika yang terjadi di dalamnya. Ini terjadi karena proses yang secara aktif berjalan terus dalam masyarakat. Sejalan dengan proses dan dinamika internal masyarakat itu, persoalan-persoalan sosial bisa saja muncul. Persoalan-persoalan yang muncul itu tentu saja memengaruhi pola gerak dinamis masyarakat, dan kemungkinan akan tercipta kondisi insecure (tidak kokoh, tidak aman), precarious (sulit, berbahaya)dan fragile (rawan). Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan legitimasi nilai sebagai fungsi checking and balancing atas berbagai persoalan yang muncul. Sumber legitimasi biasanya berasal dari nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat tersebut, seperti nilai moral dari hukum adat, agama, dan pranata lainnya. Menurut Peter Berger, nilai agama merupakan bentuk legitimasi paling efektif karena agama itu menghubungkan konstruksi realitas yang sulit (precarious reality)dari masyarakat empiris dengan realitas akhir (ultimate reality).[16] Selain itu agama mampu memberikan solusi-solusi alternatif bagi persoalan-persoalan sosial seperti kematian, perang, kenakalan remaja, kemiskinan, dan lain sebagainya, dan juga mampu memberikan warna bagi berjalannya nilai dan norma di masyarakat. Oleh sebab itu, agama disebut dengan langit suci (sacred canopy), yang melindungi masyarakat dari situasi meaningless, chaos, dan chauvinistic.[17]
Dengan demikian agama sangat berperan dalam membentuk perilaku masyarakat, dan mampu membangun kesadaran manusia untuk bertindak sesuai dengan dinamika nilai dalam masyarakat. Sekali lagi, dalam konteks ini, agama yang berintikan iman (belief) akan mengarahkan bahkan membentuk perilaku masyarakat (practice). Belief yang dalam ranah sosiologis dikategorikan sebagai sesuatu yang abstrak dan berada dalam wilayah kesadaran (mind) akan mendeterminasi perilaku dan tindakan (matter) yang dilakukan oleh manusia, baik sebagai individu atau masyarakat dalam wilayah nyata.
Ketika masyarakat merupakan “realitas” bagi manusia – masyarakat adalah “buatan” manusia dan di sisi lain manusia sebagai pembangun masyarakat dan dunia, dan manusia merupakan “subjek” yang beragama, maka sesuai dengan pemikiran konstruksionis Berger (dan Luckmann), agama akan mendeterminasi pranata sosial yang lahir dan berada dalam masyarakat, yang tentu saja tidak mengeliminir elemen pembentuk lain seperti struktur sosial yang telah ada. Agama telah menjelma menjadi bentuk norma dan perilaku sekaligus, dan ia menjadi sebuah gejala budaya, di satu sisi, serta menjadi sistem budaya di sisi lain. Dalam konteks ini, apa yang diungkapkan Clifford Geertz bahwa agama menjadi sistem budaya (cultural system), sejalan dengan konsep Berger tentang “kehadiran” Tuhan dalam masyarakat (theodicy).[18]
Berger sendiri, walaupun meletakkan aspek proyeksi sebagai titik-tolak kajian agamanya, namun ia menolak implikasi bahwa agama dapat dilihat semata-mata sebagai “efek” atau “refleksi” proses-proses sosial. Bagi Berger, “aktivitas manusia yang memproduksi masyarakat juga yang memproduksi agama berhubungan secara dialektis”. Oleh karenanya, mungkin saja terjadi bahwa dalam suatu perkembangan historis tertentu, suatu proses sosial adalah akibat dari ideasi keagamaan, sementara dalam perkembangan lain justru terjadi adalah kebalikannya. Artinya, implikasi keakaran agama dalam aktivitas manusia itu tidak dalam hal bahwa agama itu selalu merupakan suatu variabel ketergantungan dalam sejarah suatu masyarakat, tetapi sebaliknya agama memperoleh realitas objektif dan subjektifnya dari manusia, yang memproduksi dan mereproduksi agama dalam kehidupan mereka berkelanjutan.[19]
Bagi Berger, agama tidaklah semata-mata “efek” atau “refleksi” kehidupan sosial (empiris) saja, tetapi lebih dari itu, realitas agama mengatasi fenomena manusiawi. Berger, dalam konteks inilah, memasuki wilayah substansi agama. Dia berusaha mendefinisikan agama melalui kerangka substantif “sakral”, yaitu agama tidak hanya dipahami sebagai suatu “produk manusia” yang dibuat dari bahan-bahan yang manusiawi saja, tapi juga non-manusiawi. Oleh karena itulah, bagi Berger agama sesungguhnya tidak sekadar melindungi, tapi juga “sakral”.[20]
Namun, berbeda dengan Durkheim ketika berbicara tentang yang sakral dan profan, yang selalu berada dalam konteks persoalan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhannya, atau hanya sebatas aspek sosial (empiris); bagi Berger yang sakral itu tidak hanya berkaitan dengan gambaran sosial saja, tetapi juga suatu kepercayaan terhadap wilayah supranatural. Arti penting sosial agama mendapat tempat yang signifikan dalam pemahaman Berger, tetapi dia juga menyadari bahwa agama itu memiliki sisi metafisik. Dengan teori yang seperti ini Berger hendak menekankan sisi empiris agama sekaligus sisi metafisiknya. Dalam teori ini sepertinya muncul ambiguitas, tetapi sebenarnya inilah cara Berger untuk menjembatani ketegangan antara kutub yang hanya menekankan aspek empiris (sosial) agama dengan kutub yang hanya menekankan aspek metafisik agama. Tentu ini tidak terlepas dari pemikiran awal Berger yang juga mencoba menjembatani dua kutub yang bersitegang tentang teoretisasi realitas sosial dalam sosiologi, antara kutub yang pro masyarakat sebagai realitas sosial dengan kutub yang pro individu sebagai realitas sosial.

D.    Penutup
Sebagai seorang sosiolog, Emile Durkheim menemukan bahwa pada hakikatnya agama berasal dari masyarakat itu sendiri, dan berfungsi sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis. Agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus dan melalui simbol-simbol yang sifatnya suci. Dalam masyarakat yang semakin maju, masyarakat yang semakin heterogen, sebagaimana dilihat oleh Durkheim pada masa perkembangan kapitalisme dan revolusi industri, ikatan-ikatan primordial yang semula mengikat individu dalam simbol-simbol kebersamaan akan mulai memudar. Solidaritas mekanis akan segera tergantikan oleh solidaritas organis, suatu solidaritas baru yang didasarkan pada kesadaran terhadap kondisi pluralitas yang terbentuk apabila dalam masyarakat yang telah mengalami proses individualisasi itu telah timbul kesadaran adanya saling ketergantungan di antara mereka dan timbul pula rasa saling membutuhkan. Di sini terlihat bahwa bagi Durkheim kehidupan beragama itu murni sosiologis. Kajian Durkheim ini tentunya akan menemui kesulitan ketika dalam realitasnya ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya secara sosiologis-empiris. Hal ini misalnya nampak dalam studi Durkheim sendiri tentang terjadinya effervescence pada saat ritus agama suku Arunta; studinya belum mampu menjelaskan secara empiris bagaimana effervescence ini terjadi.
Sama seperti Durkheim, Berger juga melihat bahwa agama itu berasal dari masyarakat, dan bisa dipahami secara sosial (empiris). Namun, Berger memahami agama tidak hanya dari sisi empiris saja, dia juga mengakui adanya sisi metafisik agama; sayang sekali Berger tidak menjelaskan sisi metafisik ini seperti penjelasannya yang cukup komprehensif tentang agama dari sisi empiris. Dalam “kekurangjelasan” inilah teori Berger tentang agama bisa dipahami sebagai teori yang ambigu, tetapi bisa juga dijelaskan sebagai “jembatan” yang menghubungkan dua kutub yang berseberangan tentang realitas sosial. Hubungan yang saling memengaruhi antara masyarakat dan individu (manusia), termasuk di dalamnya agama sebagai realitas sosial, menunjukkan dengan jelas bagaimana teori sosial Berger yang dialektis.
Bagi kami, pandangan kedua tokoh sosiologi ini memiliki implikasi teoretis dan praktis. Sudah jelas bahwa dasar agama adalah masyarakat, karenanya penting sekali melihat agama dari segi sosiologi. Dengan melihat agama dari segi sosiologi ini maka terbuka peluang untuk memahami dan mengakui agama apa pun dengan lebih baik. Peluang pengakuan ini juga terbuka bagi agama-agama lokal di Indonesia (dan di mana pun di dunia), yang selama ini tidak dianggap sebagai agama oleh sebagian orang Indonesia, termasuk oleh pemerintah/negara. Implikasi ini akan semakin terlihat dalam kaitannya dengan masalah pluralisme agama. Kita harapkan presentasi berikutnya akan memperkaya kita secara teoretis dan praktis tentang bagaimana seharusnya agama bisa dilihat sebagai suatu realitas sosial (tanpa mengabaikan sisi metafisiknya), dan karenanya bisa menjadi perekat kehidupan sosial di tengah-tengah kemajemukan agama dewasa ini.

Daftar Pustaka
Berger. Peter L. and Thomas Luckmann. The Social Construction of Reality: a Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966).
Berger. Peter L. The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1967).
Durkheim. Emile. The Elementary Forms of Religious Life, translated by Joseph Ward Swain (New York: Free Press, 1947).
_______. The Elementary Forms of the Religious Life, Sejarah Agama (Yogyakarta:IRCiSoD, 2003).
_______. The Rules of Sociological Method, translated by Sarah A. Solovay and John H. Mueller and edited by George E. G. Catlin  (New York: Free Press, 1964).
Johnson. Doyle Paul. Teori Sosiologi 1: Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988).
Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview” dalam Peter L. Berger (ed.). The Desecularization of the World:Resurgent Religion and World Politics (Washington D.C.: Ethics and Public Policy Center, 1999).
Samuel. Hanneman. Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern (Depok: Kepik Ungu, 2010).

Prepared by Group 4: 
1.      Agustaf Barthel Tamatompo (NIM: 75.2011.023
2.      Alokasih Gulö (NIM: 75.2011.028) 
3.      Imanuel C. Nugroho (NIM: 75.2011.027) 
4.      Yusti Lawerista (NIM: 75.2011.022)


[1] Emile Durkheim lahir di Epinal, Prancis, 15 April 1858, sebagai anak keturunan pendeta Yahudi yang belajar untuk menjadi Pendeta (rabbi), tetapi kecewa terhadap pendidikan agama, dan ia keluar dari Katolik menjadi Agnostik. Ia mengalihkan minatnya pada pengetahuan umum, dan terutama sosiologi ilmiah. Tetapi karena pada waktu itu sosiologi belum berkembang secara independen, ia lalu lebih banyak meluangkan hidupnya untuk mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris (1887), yakni di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux. Ia kemudian berhasil menjadikan Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang resmi di Prancis. Ia meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Prancis yang tersohor. Beberapa karya Durkheim adalah seperti: The Division of Labor in Society (1893), The Rules of Sociology Method (1895), Suicide: a Study in Sosiology (1897), dan The Elementary Forms of Religious Life (1912). Dari karya-karya inilah terlihat beberapa teori sosiologinya, seperti teori tentang fakta sosial, solidaritas sosial (mekanik dan organik), bunuh diri (suicide), dan tentang agama.
[2]   Emile Durkheim. The Rules of Sociological Method, translated by Sarah A. Solovay and John H. Mueller and edited by George E. G. Catlin  (New York: Free Press, 1964).
[3]   Hanneman Samuel. Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern (Depok: Kepik Ungu, 2010), 19-29.
[4]   Emile Durkheim. The Elementary Forms of Religious Life, translated by Joseph Ward Swain (New York: Free Press, 1947).
[5]   Sebuah klan pada dasarnya terdiri dari individu-individu yang satu sama lain terikat oleh ikatan kekerabatan. Bukan berarti para anggotanya terikat oleh hubungan darah. Para anggota kelompok yang terikat oleh ikatan kekerabatan memiliki kesamaan nama, dan merasa memiliki kewajiban terhadap sesama anggotanya yang bagaikan kewajiban terhadap kerabat. Durkheim menulis: “such duties as aid, vengeance, mourning, the obligation no to marry among themselves, etc”, [tugas-tugas mereka seperti memberi bantuan, membalaskan dendam, turut berduka cita, tidak menikah dengan sesama mereka, dsb]. Hanneman Samuel, op.cit., 77-78
[6]   Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi 1: Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988), 196.
[7]   Kekuatan totem – yang disebut mana – dianggap oleh penganutnya sebagai suatu kekuatan tertinggi dan sumber segala kekuatan yang mengatur gerak alam semesta (termasuk tingkah laku anggota klan). Kekuatan ini bersifat misterius dan supranatural (namun termanifestasi dalam wujud fisik). Hanneman, op.cit., 85.
[8] Doyle Paul Johnson, op.cit., 197.
[9] Doyle Paul Johnson, op.cit., 198.
[10] Peter Ludwig Berger, dilahirkan di Vienna, Austria, 17 Maret 1929 kemudian dibesarkan di Wina. Ayahnya George William dan ibunya Jelka (Loew) Berger. Berger kemudian berimigrasi ke Amerika Serikat tahun 1946 dan menjadi warga Amerika pada tahun 1952.  Pada 1949 ia lulus dari Wagner Colege dengan gelar Bachelor of Art. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952). Berger adalah seorang sosiolog dan teolog Amerika, yang terkenal karena karyanya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge(New York, 1966), yang ditulisnya bersama Thomas Luckmann. Ia juga menulis buku yang menguraikan hubungan agama dan masyarakat yaitu The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (1967). Karyanya yang lain yang cukup penting adalah Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective (1963), A Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of the Supernatural (1970), dan Pyramids of Sacrifice.
[11] Peter L. Berger. The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1967), 4. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.
[12] Peter L. Berger. The Sacred Canopy …, 88, 180.
[13] Peter L. Berger and Thomas Luckmann. The Social Construction of Reality: a Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 49.
[14] Peter L. Berger and Thomas Luckmann. The Social Construction of Reality …, 103.
[15] Peter L. Berger and Thomas Luckmann. The Social Construction of Reality …, 98.
[16] Peter L. Berger. The Sacred Canopy …, 32. Bukan tidak mungkin bahwa pemahaman yang seperti ini telah mendorong terjadi reaksi “agama-agama”, terutama “Islam” dan kekristenan evangelikal, terhadap modernitas (sekularisasi) sehingga terjadilah desekularisasi. Dalam tulisannya “The Desecularization of the World” (1999) Berger melihat bahwa penyebab utama desekularisasi adalah karena modernitas condong merongrong kepastian-kepastian yang selama ini diyakini dan diterima begitu saja dari agama-agama, yang dinilai telah memelihara dan menenteramkan manusia di sepanjang sejarah mereka. Hilangnya kepastian tidaklah bisa ditolerir oleh jiwa manusia; karena itu, gerakan-gerakan keagamaan yang mengklaim sanggup memberikan kepastian hidup memiliki daya tarik yang sangat besar. Dari tulisan-tulisannya tentang sekularisasi, Berger menjelaskan fenomena dualis dari sekularisasi yakni: bahwa sekularisasi menyebabkan merosotnya agama, dalam hal ini agama kehilangan kekuatan dan pengaruhnya dalam masyarakat modern, namun sebaliknya sekularisasi juga melahirkan desekularisasi yang ditandai dengan munculnya semarak keberagamaan dalam masyarakat. Tulisan-tulisan Berger tentang sekularisasi dan desekularisasi ini banyak dipakai dalam kajian-kajian tentang masalah-masalah pluralisme agama dunia.
[17] Peter L. Berger. The Sacred Canopy …, 59.
[18] Peter L. Berger. The Sacred Canopy …, 53 dst.
[19] Peter L. Berger. The Sacred Canopy …, 47.
[20] Peter L. Berger. The Sacred Canopy …, 177